Nama aslinya ialah Abu Ali al-Hasan ibnu Hani al-Hakami. Ia lahir di Ahwaz, Persia (Iran sekarang) pada 136 H (738 M). Ayahnya, Marwan bin Muhammad, anggota legiun militer khalifah terakhir Bani Umayyah di Damaskus, Harun al-Rasyid. Sementara ibunya bernama Jalban, wanita Persia yang bekerja sebagai pencuci kain wol. Sejak kecil ia sudah yatim. Sang ibu kemudian membawanya ke Bashrah, Irak. Di kota inilah ia belajar berbagai ilmu pengetahuan.
Sesungguhnya ia adalah seorang sufi, intelektual, sekaligus penyair yang hidup di zaman Khalifah Harun Al-Rasyid di Baghdad (806-814 M). Abu Nawas tidak hanya cerdik, tetapi ia juga nyentrik. Sebagai penyair, mula-mula ia suka mabuk. Belakangan, dalam perjalanan spiritualnya mencari hakikat Allah, kehidupan rohaniahnya yang berliku sangat mengharukan. Setelah “menemukan” Allah, inspirasi puisinya bukan lagi khamar, melainkan nilai-nilai ketuhanan. Ia tampil sebagai penyair sufi yang tiada banding.
Masa mudanya penuh dengan gaya hidup yang kontroversial, sehingga membuat Abu Nawas tampil sebagai tokoh yang unik dalam khazanah sastra Arab Islam. Meski begitu, sajak-sajaknya juga sarat dengan nilai keagamaan dan pertobatan, di samping cita rasa kemanusiaan. Abu Nawas belajar sastra dan bahasa Arab kepada Abu Zaid al-Anshari dan Abu Ubaidah. Ia juga belajar Al-Quran kepada Ya’qub al-Hadrami, sementara dalam ilmu hadis ia belajar kepada Abu Walid bin Ziyad, Muktamir bin Sulaiman, Yahya bin Said al-Qattan, dan Azhar bin Sa’ad as-Samman. Pertemuannya dengan penyair dari Kufah, Walibah bin Habab al-Asadi, membawanya ke panggung kesusastraan Arab. Walibah sangat tertarik pada bakat Abu Nawas yang kemudian membawanya kembali ke Ahwaz, lalu ke Kufah.
Di Kufah, tempat Sayidna Ali dimakamkan, bakat Abu Nawas digembleng. Ahmar menyuruh Abu Nawas berdiam di pedalaman, hidup bersama orang-orang Arab Badui untuk memperdalam dan memperhalus bahasa Arab. Kemudian ia ke Baghdad. Di pusat peradaban Dinasti Abbasyiah inilah ia berkumpul dengan para penyair. Berkat kepiawaiannya menulis puisi, Abu Nawas dapat berkenalan dengan para pangeran. Tetapi gara-gara kedekatannya dengan para bangsawan inilah puisi-puisinya berubah, cenderung memuja penguasa.
Dalam kitab Al-Wasith fil Adabil ‘Arabi wa Tarikhihi, Abu Nawas digambarkan sebagai penyair multivisi, penuh canda, berlidah tajam, pengkhayal ulung, dan tokoh terkemuka sastrawan angkatan baru. Cuma, sayang, karya-karyanya jarang ditampilkan dalam berbagai kesempatan atau diskusi keagamaan. Ia hanya dipandang sebagai orang yang suka bertingkah lucu dan tidak lazim. Kepandaiannya menulis puisi menarik perhatian Khalifah Harun al-Rasyid. Melalui musikus istana, Ishaq al-Wawsuli, Abu Nawas dipanggil untuk menjadi penyair istana (sya’irul bilad). Dalam ensiklopedi Al-Munjid disebutkan, Abu Nawas diangkat sebagai pendekar para penyair yang bertugas menggubah puisi puji-pujian untuk khalifah. Sebagai penyair, tingkah laku Abu Nawas bisa disebut aneh, bahkan slebor. Tingkah lakunya membuat orang selalu mengaitkan karyanya dengan gejolak jiwanya. Ditambah sikapnya yang jenaka, perjalanan hidupnya benar-benar penuh warna. Kegemarannya menenggak arak menjadikannya penyair yang unik. Kegemarannya bermain kata-kata dengan selera humor yang tinggi seakan menjadi legenda tersendiri dalam khazanah peradaban dunia.
Di lain pihak, Abu Nawas adalah sosok yang jujur. Sikap itu menjadikannya sejajar dengan tokoh-tokoh penting dalam khazanah keilmuan Islam. Zamannya adalah zaman keemasan imperium Abbasiyah. Pada masa kekhalifahan Harun al-Rasyid, peradaban Islam maju pesat. Banyak tokoh penting lahir di zaman ini. Cuma, sayang, kemajuan ini tidak dibarengi dengan perilaku yang baik dalam masyarakat. Kenyataan inilah yang menjerumuskan Abu Nawas yang kemudian larut dalam minuman keras dan hidup sebagai hedonis. Kedekatannya dengan kekuasaan bahkan pernah menjerumuskannya ke dalam penjara. Pasalnya, suatu ketika Abu Nawas membaca puisi Kafilah Bani Mudhar yang dianggap menyinggung Khalifah. Tentu saja Khalifah murka, lantas memenjarakannya. Setelah bebas, ia berpaling dari Khalifah dan mengabdi kepada Perdana Menteri Barmak. Ia meninggalkan Baghdad setelah keluarga Barmak jatuh pada tahun 803 M. Setelah itu ia pergi ke Mesir dan menggubah puisi untuk Gubernur Mesir, Khasib bin Abdul Hamid al-Ajami. Tetapi, ia kembali lagi ke Baghdad setelah Harun al-Rasyid meninggal dan digantikan oleh Al-Amin.
Sejak mendekam di penjara, puisi-puisi Abu Nawas berubah, menjadi religius. Jika sebelumnya ia sangat pongah dengan kendi tuaknya, kini ia lebih pasrah kepada kekuasaan Allah. Syair-syairnya tentang tobat bisa dipahami sebagai salah satu ungkapan rasa keagamaannya yang tinggi. Memang, pencapaiannya dalam menulis puisi diilhami kegemarannya melakukan maksiat. Tetapi, justru di jalan gelap itulah, Abu Nawas menemukan nilai-nilai ketuhanan. Sajak-sajak tobatnya bisa ditafisrkan sebagai jalan panjang menuju Tuhan. Meski dekat dengan Sultan Harun al-Rasyid, Abu Nawas tak selamanya hidup dalam kegemerlapan duniawi. Ia pernah hidup dalam kegelapan – tetapi yang justru membawa keberkahan tersendiri.
Adalah Dr. Muhammad al-Nuwaihi yang mengungkapkan kehidupan gelap penyair ini. Dalam kitab Nafsiyyat Abi Nuwas disebutkan, Abu Nawas sangat tergantung pada minuman keras. Meski begitu, ia tetap mempunyai harapan dalam setiap kali jiwanya guncang: ia yakin bahwa ampunan Allah bisa direngkuhnya, seperti sebuah penggalan sajaknya:
Tuhan……
Jangan Kau siksa aku ….
Sungguh aku mengakui semua dosa yang ada pada diriku ….
Manusia menyangka kalau aku adalah orang baik dan terhormat……
Padahal aku adalah orang yang hina dina …
apabila Engkau tidak mengampuniku
Bisa dimaklumi jika pada masa tuanya Abu Nawas cenderung hidup zuhud. Di masa inilah ia menciptakan puisi-puisi yang terdiri atas beberapa tema. Ada yang bertema pujian (madh), satire (hija’), zuhud (zuhdiyat), bahaya minum khamar (khumriyat), cinta (hazaliyat), dan canda (mujuniyah). Gara-gara beberapa puisinya yang bertema jenis mujuniyat atau khumriyat Abu Nawas dituduh sebagai penyair zindik atau pendosa besar. Tetapi berkat puisi bertema khumriyat pula ia terkenal sebagai penyair pemabuk. Ia menggambarkan minuman keras yang dapat menenangkan pikiran.
Tetapi, menjelang akhir hayatnya ia mulai berubah. Ia mulai menulis beberapa puisi religius. Dalam beberapa puisi bertema zuhdiyat, ia mengungkapkan rasa sesal dan tobat atas segala perbuatannya selama ini. Tak hanya itu, di masa tuanya ia benar-benar menjalani kehidupan zuhud. Seorang sahabatnya, Abu Hifan bin Yusuf bin Dayah, memberi kesaksian, akhir hayat Abu Nawas sangat diwarnai dengan kegiatan ibadah. Beberapa sajaknya menguatkan hal itu. Salah satu bait puisinya yang sangat indah merupakan ungkapan rasa sesal yang amat dalam akan masa lalunya. Konon Abu Nawas meninggal karena dianiaya oleh seseorang yang disuruh oleh keluarga Nawbakhti - yang menaruh dendam kepadanya. Kematian Abu Nawas memang penuh dengan misteri. Ia dimakamkan di Syunizi di jantung Kota Baghdad.
Sejumlah puisi Abu Nawas dihimpun dalam Diwan Abu Nuwas yang telah dicetak dalam berbagai bahasa. Ada yang diterbitkan di Wina, Austria (1885), di Greifswald (1861), cetakan litrografi di Kairo, Mesir (1277 H/1860 M), Beirut, Lebanon (1301 H/1884 M), Bombay, India (1312 H/1894 M). Beberapa manuskrip puisinya tersimpan di perpustakaan Berlin, Wina, Leiden, Bodliana, dan Mosul. Pada tahun 1855, Diwan-nya diedit oleh A. Von Kremer dengan judul Diwans des Abu Nowas des Grosten Lyrischen Dichters der Araber. Di tangan para orientalis itu karya Abu Nuwas dipelajari dan dikenang. Mereka memang lebih dulu mengenal Abu Nuwas ketimbang kita - yang hanya menertawakannya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan menggunakan kata-kata SARA, Porno, dll.